Desain Karakter
#Ekpresi Jiwa Aksara
Ekpresi Jiwa Aksara
Hakikat
Karya Tulis
Sayyid qutb pernah
mengatakan bahwa satu peluru hanya mampu menembus satu kepala, tapi satu
telunjuk (menulis) mampu menembus jutaan kepala. Demikian ia gambarkan betapa
hebat, kuat, tajam pengaruh tulisan ataupun karya sastra dalam kehidupan nyata. Tak mampu
dipungkiri bahwa tulisan adalah ekpresi jiwa, berisi pemikiran mampu melintasi
alam semesta, menggerakan naluri idealis
akibat perubahan paradigma drastis. tulisan
adalah “pedang” yang mampu
membunuh tanpa kematian jasad, Tebasan lewat
kalimat akan memenggal pemahaman sesat.
Tulisan merupakan
gambaran sempurna tuannya. Kepribadian tersirat dalam karya sastra, melukiskan
siapa dia sebenarnya. Manusia mampu berdusta melalui gestur tubuhnya, namun tidak untuk tulisan, ia memperlihatkan
keadaan diri yang disimpan. Tidak berlebihan jika dinyatakan bahwa tulisan
adalah kepingan-kepingan kepribadian. Tulisan adalah karya agung, Mustahil kita
mampu mengenal rasul, jika para sahabat
tidak menulis tentangnya.
Tulisan terpulang
pada peramunya, apakah ia racik dengan “racun” (bathil) bercampur “madu murni” (haq/kebenaran)?
hingga “racun” terasa manis dan menjadikan manusia skeptis, atau memang ia
ramu hanya dengan “madu murni
(Kebenaran)” hingga terasa manis sejati, menjadikan manusia semakin mampu mengenal ilahi.
Perlu disadari,
bahwa tulisan bisa menjadi sampah jiwa, mengotori jernihnya pemikiran,
menjadikan manusia semakin jauh dari tuhan. Perlu diwaspadai, tulisan juga
mampu menjadi racun yang membunuh tanpa
ampun, juga meracuni akal sehat, menjadikan manusia semakin sesat.
Lihatlah di sekeliling kita, betapa banyak karya tulis yang memuat teoritis yang terlihat humanis padahal sejatinya mengacaukan aspek
historis, jika kita tidak kritis, karya mereka mampu menghipnotis, paradigma pun
berubah drastis, semulanya idealis menjadi pragmatis dan hedonis.
Menulis
untuk “Kesempurnaan”
Menikmati mesti mengenali. Tulisan ada karena menulis, menulis
ada karena membaca, nikmati aksara serta pahami esensinya. Membaca adalah
menikmati, seperti halnya makan untuk jasad,
jiwa juga butuh asupan agar senantiasa tidak lapar dari kebenaran. Bayangkan jika jasad telah keracunan makanan,
tubuh menjadi lemah tak berdaya bahkan berujung kematian. Apalagi jiwa yang
semestinya mampu mengenal tuhan, keracunan oleh tulisan menjadikan manusia lupa daratan. Betapa banyak
jasad hidup tapi mati ruhnya, bisa jadi mereka adalah orang yang paling
menikmati aksara, tapi menikmati sambil menutup mata hati, menyebabkan jiwanya
terakumulasi penyakit hati. Tak sekedar mengenali, Menikmati mesti menghayati.
Setiap tulisan yang diciptakan oleh siapapun sarat dengan pemikiran, tujuannya
hanya satu yaitu penetrasi ideologi.
Meski bukan ungkapan
sempurna, cipta karya sastra mampu meredakan gelisah dan gejolak jiwa. Tajamnya ide yang memenuhi alam pikiran,
mampu tertuang melalui tulisan. Megahnya imajinasi yang terbina di alam perasaan, mampu tersalur melalui tulisan. Rumitnya logika yang tercipta di labirin dialetika, mampu terurai melalui tulisan. Masihkah kita
abaikan tajamnya ide, megahnya imajinasi, dan rumitnya logika hanya tersimpan di kepala, kemudian mengendap mendangkalkan dalamnya akal pikiran kita? Atau
kesemuanya di ekpresikan menjadi nyata dalam karya sastra hingga jiwa
benar-benar mampu merasa arti kehidupan.
Budaya cipta sastra merupakan warisan ulama, ia mampu mencipta
sastra yang mampu mengubah peradaban manusia. Karya mereka laksana cahaya nan abadi menerangi kelammnya ruang hati. Adalah
fitrah manusia senantiasa berusaha mengekpresi jiwanya, berbeda dengan hewan
yang hidup hanya sesuai nalurinya. Menulis adalah menyadarkan, ketika iman kuat
membaja, menulislah tentang kebencian
terhadap kemungkaran, karna suatu saat iman tergoyahkan, ia mampu menyadarkan
arti sebuah kebenaran yang pernah tersampaikan,
menulislah untuk “kesempurnaan”.
0 komentar:
Posting Komentar